marqoe

From Nothing to be Something

Monday, 12 August 2013

Savana Island's Bird Part1: Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citri nocristata)


Dalam tiga dekade terakhir, menurut IUCN semakin banyak satwa Indonesia yang masuk ke dalam daftar ‘terancam punah’. Selain itu, banyak pula yang dimasukkan ke dalam daftar Appendiks CITES, salah satunya adalah Kakatua Sumba. Burung ini merupakan burung paruh bengkok yang terancam punah akibat perdagangan dan degradasi habitat (PHPA/LIPI/Birdlife IP, 1998).
Sebagai satwa endemik yang terancam punah Kakatua sumba memiliki keistimewaan dibandingkan burung-burung lainnya, selain bentuk dan warna bulunya yang indah, kelebihan lain terletak pada jambul dan kepintarannya. Untuk menjaga kelestariannya upaya konservasi perlu dilakukan baik secara in situ maupun eks situ. Oleh karena itu kajian pengenalan jenis secara lengkap diperlukan sebagai landasan awal perencanaan manajemen konservasi Kakatua Sumba.

Taksonomi dan Status
Taksonomi kakatua sumba
Kingdom : Animalia
Divisi : Vertebrata
Kelas : Aves
Famili : Psittacidae
Genus : Cacatua
Spesies :Cacatua sulphurea
Subspesies : Cacatua sulphurea citrinocristata
Nama Lokal : Kakatua Sumba, Kakatua jambul jingga

Burung ini merupakan burung paruh bengkok yang terancam punah akibat perdagangan dan degradasi habitat (PHPA/LIPI/Birdlife IP, 1998). IUCN (International Union Conservation Nation) mengkategorikan kedalam status kritis (Critically endangered). Pada tahun 2004, di per-temuan ke-13 COP (Conferences of the Parties) CITES (Convention on Trade In Endangered Spe-cies of Wild Fauna and Flora), status Kakatua sumba diusulkan untuk meningkat dari Ap-pendiks 2 ke Appendiks 1, kemudian pada tang-gal 24 Juni 2010 status Appendiks 1 ini berlaku.
Melihat keterancaman jenis ini, pemerintah juga turut melindunginya melalui PP No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Morfologi 
Bulu berwarna putih dengan pipi kuning kejingga-jinggaan. Jambul depan yang berbentuk melengkung, ketika dinaikkan berwarna jingga. Bulu dibawah sayap dan ekor berwarna kuning. Cincin mata berupa kulit yang berwarna kebiru-biruan. Warna iris juga dapat dijadikan pem-beda kelamin jantan dan betina. Pada betina warna iris keabu-abuan pada usia 5 – 6 bulan dan akan berubah kecoklatan pada usia 7 bulan. Berat rata-rata sekitar 350 gram, panjang tubuh 330 mm, panjang rentang sayap 211 – 245 mm, panjang ekor 98 – 115 mm, panjang tungkai 21 – 25 mm (O’brien, 2007).


Populasi dan Penyebaran 
Cacatua sulphurea citrinocristata meru-pakan anak jenis Kakatua-kecil Jambul-kuning yang endemik di Pulau Sumba. Pada abad lalu spesies ini sangat umum dijumpai. Seorang pengunjung pernah melihat pohon-pohon menjadi putih karena dihinggapi Kakatua (Doherty 1891 dalam PHPA/LIPI/Birdlife International-IP, 1998). Riffel dan Bekti (1991) dalam PHPA/LIPI/Birdlife International-IP (1998) melaporkan dalam dua studi pada tahun 1980-an yang bertujuan untuk membantu menetapkan kuota penangkapannya. Pertama, awal tahun 1986, menghasilkan perkiraan total 12.000 burung dengan kepadatan 8 ekor/km2 di habitat yang sesuai; kedua, awal tahun 1989 ditemukan bahwa kepadatannya menurun hingga 1,8 ekor/km2, suatu penurunan yang tajam sebesar 80 % dalam tiga tahun. Survei lapangan pada tahun 1989 dan 1992 (masih dinyatakan belum selesai oleh penulis) menghasilkan kepadatan 2,2 ± 1,1 ekor/km2 didalam hutan bertajuk rapat seluas 1.080 km2 dengan populasin 2.376 ± 1.188, atau sekitar 3.200 ekor (perkiraan sementara), dan dianggap bahwa di Pulau Sumba C. sulphurea terancam punah (Jones dkk. 1995). Analisis selanjutnya dari kumpulan data yang sama menghasilkan angka yang telah diperbaiki, yaitu 1.150 – 2.644 ekor (Marsden 1995 dalam PHPA/LIPI/Birdlife International-IP, 1998). Pada awal tahun 1990-an kepadatan Kakatua tertinggi terdapat di kawasan-kawasan dimana lubang-lubang sarangnya tidak dapat dicapai oleh penangkap burung setempat (Jones, dkk., 1995). Pada tahun 1995 burung ini dijumpai di sekitar separuh dari jumlah blok hutan yang tersisa di Sumba (I. Setiawan obs. pri., O’Brien, dkk., 1997 dalam PHPA/LIPI/Birdlife International-IP, 1998). Faktor terpenting yang mempengaruhi jumlah C.s.citrinocristata adalah luas blok hutan, keragaman spesies tumbuhan dan penutupan tajuk. Kakatua jarang atau bahkan tidak dijumpai sama sekali di hutan yang luasnya kurang dari 1.000 ha. Kakatua juga lebih menyukai hutan primer yang belum terganggu (O’Brien dkk. 1997 dalam PHPA/LIPI/Birdlife International-IP, 1998). di Pulau Sumba burung ini tidak atau jarang dijumpai jarang pada areal hutan yang luasnya kurang dari 10 km2, dan mereka lebih memilih hutan primer yang tidak terganggu dengan karakter hutan berpohon besar sebagai lokasi bersarang (Kinnaird 1999 dalam CITES, 2004). Populasi C. s. citrinocristata di Pulau Sumba juga mengalami penurunan yang sama dari tahun 1980 hingga saat ini. Berdasarkan survey terbaru dan data tahun 2003, perkiraan populasi C. s. citrinocristata pada tiga tipe habitat hutan yang berbeda (di luar kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Taman Nasional Manupeu Tanadaru) di Pulau Sumba sebanyak 1 – 2 ekor /1000 Ha. Penelitian pada tahun 1989 sampai 1992 (Marsden 1995 dalam CITES, 2004) diperkirakan populasi total Kakatua kecil jambul kuning antara 1.150 – 2.644 ekor. Survei BirdLife Indonesia (2002) memperkirakan populasi total sebanyak 229 – 1.195 ekor diluar taman nasional di Sumba. Pada survey yang dilakukan tahun 2002 oleh Wildlife Conservation Society (WCS), diperkirakan kepadatan populasi sebesar 4.3 ekor/km2 pada 4 blok hutan di 2 taman nasional Pulau Sumba (Persulessy, dkk., 2003).


Biologi Perkembangbiakan
Semua jenis kakatua bersarang di dalam lubang pohon. Beberapa keuntungan bersarang pada lubang pohon antara lain memberikan perlindungan dari predator, perlindungan dari cuaca ekstrim dan memberikan iklim mikro yang stabil (Cameron, 2007). Dari sekian banyak jenis pohon yang berada di kawasan hutan, ha-nya beberapa jenis yang digunakan sebagai tem-pat bersarang. Menurut Cameron (2007) burung kakatua tidak dapat menggali lubang sarang sendiri, mereka tinggal memilih dari lubang po-hon yang tersedia di alam. Pemilihan lubang sebagai tempat bersarang dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran lubang, kondisi lingkungan di sekitar lubang sarang, termasuk ketersediaan sumber pakan dan air. Enam jenis pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang, yaitu: Ma-ra (Tetrameles nudiflora R.Br.), Mosa/Kahembi Omang (Engelhardia spicata Bl.), Wai Rara (Bischofia javanica Blume), Kalumbang (Sterculia foetida L.), Nggoka (Chinocheton sp.) dan Lobhung (Decaspermum sp.). 
Proses perkembangbiakan Kakatua Sumba memakan waktu cukup lama, yaitu antara bulan November – Februari. Perkawinan pada Kakatua Sumba ditandai dengan proses pemilihan pasangan, kemudian proses percumbuan yang cukup lama. Kakatua akan saling menelisik pasangannya dengan menegakkan jambulnya. Pada proses percumbuan, juga dilakukan proses observasi pohon yang akan dijadikan sebagai sarang. Biasanya Kakatua Sumba akan bermain di sekitar pohon sarang untuk menjaga dan memastikan lubang sarang pada pohon yang dipilihnya aman. 

Pakan 
Pakan Kakatua Sumba sebagian besar berbentuk buah, bagian yang dimakan berupa daging buah dan juga pada beberapa jenis dimakan pula bijinya. Dengan paruhnya yang kuat, kakatua mampu menghancurkan kulit biji yang keras, seperti kulit biji kaduru.

Kecilnya populasi dan tingginya ancaman terhadap Kakatua Sumba di habitat alami membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak untuk mencegah kepunahan Kakatua Sumba. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya serius berupa aksi konservasi nyata terhadap kelestariannya. Kajian pengenalan jenis secara mendalam merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian Kakatua Sumba dalam berbagai aspek. Dengan kajian ini diharapkan pengetahuan secara komprehensif dapat diketahui sehingga dapat melengkapi hasil-hasil. (Oki Hidayat, 2012)

No comments:

Post a Comment